Minggu, 21 Februari 2010

Simposium Pendidikan Anak Khusus

Malang – Simposium Nasional Pendidikan Khusus dan Pendidikan Layanan Khusus bertajuk “Mainstream Pendidikan Inklusi di Indonesia” yang dihelat di Dome Theatre Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) oleh Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa Kementrian Pendidikan Nasional bekerjamasama dengan Fakultas Psikologi UMM dan Assesment Center PK dan PLK UMM. Pada Minggu, 21 Februari 2010 diikuti oleh lebih dari 300 peserta dari perwakilan SD/MI, SMP dan SMU se-Jawa Timur, salah satunya dari Sekolah Kreatif SD. Muhammadiyah 20 Surabaya yang ditawari langsung oleh Pimpinan Wilayah Muhammadiyah untuk di undang hadir dalam acara tersebut.

Dalam acara tersebut, Ust. Huda dan Ust. Achung yang diutus langsung oleh Kepala Sekolah untuk hadir dalam undangan tersebut guna menggali wacana baru program Pemerintah dan Institusi Perguruan Tinggi atau Sekolah dalam perannya mengelola dan memfasilitasi pendidikan anak khusus yang mengalami hambatan belajar dan gangguan mental atau emosi serta cacat pada tubuh dan inderanya.

Ust. Huda dan Achung, janjian untuk langsung ketemu di Dome UMM, berangkat dari rumah setelah shubuh, dengan mengendarai Bus Patas Jatim, setiba di lokasi langsung disambut hangat oleh panitia yang rata-rata dari mahasiswa fakultas psikologi UMM. Setelah dilakukan registrasi, kami diberi snack dan aqua gelas untuk dinikmati pada acara sesi I. Acara dibuka oleh MC dan dilanjutkan pembacaan Kalam Wahyu Illahi, setelah itu sambutan-sambutan.

Dalam sambutan pertama yang disampaikan oleh Ketua Panitia Penyelenggara, Drs. Tulus Winarsunu, M.Si. sekaligus sebagai Dekan Fakultas Psikologi UMM. Beliau mengatakan bahwa banyak orang yang masih memandang secara sempit tentang pendidikan inklusi, yaitu pendidikan anak (berkebutuhan khusus) sebagai obyek masalah yang memerlukan penanganan penyelesaian. Padahal sebenarnya Pendidikan disini menyertakan anak sebagai subyek yang berhak pula berpendapat, dan diakomodir serta dipertimbangkan dengan baik untuk mendapatkan pendidikan yang berkeadilan bagi semua, dengan menggunakan pendekatan yang melihat pada kebutuhan bukan pada keterbatasannya. Hal ini sudah banyak dilakukan dirumah oleh para orang tua. Disatu sisi UUD 45 jelas menegaskan hak semua warga Negara sama untuk mendapatkan pelayanan pendidikan, khususnya WAJAR 9 TH bahkan harus dibiayai oleh Negara, dikuatkan oleh Peraturan Menteri no 20 Th 2009, UU tentang perlindungan anak dan tentang penyandang cacat. Tapi Ironinya pemerintah dan masyarakat belum bisa mewujudkan budaya inklusi tersebut, seperti lingkungan sekolah, masjid, hotel masih belum ramah untuk penyandang cacat. Dan saat ini, tambahnya. Masih ada sekolah yang menolak/melarang siswa sumbing atau hanya memiliki 4 jari. Salah kaprah lagi ketika konsep pendidikan anak (berkebutuhan khusus) di kumpulkan sesama mereka di SLB atau lainnya, padahal ketika mereka lulus, mereka ketemu dengan orang yang tidak sama dengan mereka.

Sambutan yang kedua dan sekaligus membuka acara Simposium, disampaikan langsung oleh Ketua PWM Jawa Timur, Prof. Syafiq A. Mugni. dengan mengajak semua yang hadir, menjadi masyarakat yang beradab. Sekilas beliau menceritakan pengalamannya saat di London berada di sebuah taman, melihat patung Kuda menarik Mesiu, yang bertuliskan bahwa si kuda berkata : “inilah aku yang terlibat perang karena kesombongan manusia. Dan ketika berada di Wina, Austria, beliau melihat penduduk disana menggunakan suntikan anastesi untuk hewan yang mau disembelih, agar mereka (hewan) tidak merasa sakit. Ilustrasi tersebut menggambarkan bahwa di Eropa sudah sampai sejauh itu penghargaanya pada para hewan, apalagi manusia. Belum lagi saat di China, ada sebuah kota kecil yang sepi dan sedikit penduduknya, tapi beliau melihat jalan-jalan disana sudah ramah dan aman bagi orang buta. Pak Syafiq melanjutkan ceritanya ketika dia berada ditanah kelahirannya, Paciran Lamongan. Ada andong ditumpangi 5 orang dengan membawa kiloan beras dan gula, ketika kuda merasa tidak kuat menarik, malah dipecut. Konsep Islam yang rahmatan lil alamin merupakan amanah yang harus di jalankan sebagai umat yang terbaik. Dan para hadirin ditantang, khususnya sekolah-sekolah Muhammadiyah, pada isu HIV/AIDS, ada sekolah tertentu yang menolak siswa yang sudah terdeteksi mengidap penyakit AIDS. Padahal penyakit ini tidak menular melalui makanan, ciuman tangan, atau keringatnya. Maukah kita menerima mereka ??. Terkadang malah orang islam sendiri yang menutupi rahmat lil alamin itu sendiri, karena sekolah yang menolak itu adalah sekolah Islam.

Setelah memberikan sambutannya, Prof. Syafiq A. Mughni meninggalkan tempat dan selanjutnya acara simposium dibuka oleh Moderator Drs. Tulus Winarsunu, M.Si. yang langsung mengenalkan 2 keynote speaker pagi itu, yaitu Dr. Ekodjatmiko Sukarso, Selaku Direktur Pembinaan Sekolah Luar Biasa dari Kementrian Pendidikan Nasional, yang membahas tentang Kebijakan Penyelenggaraan PK/PLK di Indonesia. dan Dr. Muhadjir Effendi, M.Apt. selaku Rektor UMM, yang membahas tentang Peran Perguruan Tinggi dalam Peningkatan Kualitas Penyelenggaraan Pendidikan Khusus di Indonesia. Acarapun diperkirakan berakhir pukul 11.30 WIB. Sebelum masuk pada kajian para keynote speaker, Pak Tulus, memberikan pemahaman awal tentang apa itu PK/PLK, yaitu untuk Pendidikan Khusus (PK) bagi anak yang cacat dikarenakan dirinya (bawaan) sedangkan Pendidikan Layanan Khusus (PLK) bagi anak yang mengalami “cacat” / keterbatasan karena faktor dari luar diri yang menjadikan mereka ABK, Anak Jalanan, ataupun PSK.

Dr. Eko dalam paparannya menyampaikan bahwa Kementrian Pendidikan Sekolah Luar biasa telah menggelontorkan banyak dana untuk sekolah khusus semacam SLB, kalau di Surabaya ada Galuh Handayani dan instansi Perguruan Tinggi seperti, UNTAG, UBAYA dan UNESA telah mendapat dana untuk mendukung program pemerintah dalam melayani pendidikan WAJAR 9 TH bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus. Seluruh sekolah di Indonesia dapat mengajukan proposal guna mendapat bantuan dana pembiayaan pendidikan bagi anak-anak khusus atau cacat tersebut. Karena diperkirakan tahun ini APBN untuk ABK akan mencapai 30 %. Sehingga trade mark sekolah Inklusi merupakan sebuah kebutuhan dimana anak-anak khusus (ABK) ini akan bermain, berkegiatan belajar, hidup berdampingan bersama dengan anak-anak yang normal akan tetapi pada kegiatan belajar, mereka akan mendapatkan perlakuan khusus dan berbeda. Beliau pun menceritakan kisah tentang tuna rungu yang bisa mengoperasikan komputer, dan dia mampu bekerja dan mendapatkan upah/gaji untuk itu. Belum lagi ada seorang Direktur SCTV yang mempunyai dua anak penyandang cacat kursi roda, telah menyekolahkan anak-anaknya di sekolah internasional tapi seiring berjalannya waktu kepala sekolah akhirnya demi mempertahankan citra diri sekolah, mengeluarkan anak yang cacat tersebut dari sekolah mereka. Jangan bilang masalah duit, orang tua anak-anak ini tidak ada masalah dengan soal uang, akan tetapi ketika dipindah ke beberapa sekolah maju swasta atau negeripun tidak ada yang berani menerima. Begitupula di sekolah yang bernafaskan Islam, ditolak juga. Padahal perintah agama menyerukan bahwa tuntutlah ilmu sampai ke liang lahat. Diakhir pemaparannya Dr. Eko mengajak kepada seluruh sekolah swasta, negeri atau Islam sekalipun khususnya sekolah Muhammadiyah sudah berani menerima anak khusus, beliau menggambarkan bagaimana sekolah inklusi adalah seperti sekolah di film Laskar Pelangi besutan novel Andrea Hirata. Sangat beragam siswanya, dan tidak harus berseragam. Bagaimana pula sekolah bisa juga mengentas anak jalanan agar diterima menjadi peserta didik yang layak secara gratis, biaya akan didukung oleh pemerintah.

Sedangkan Rektor UMM, Muhadjir Effendi dalam paparannya banyak mengkritisi program-program pemerintah yang ujung-ujungnya mubadzir, dan tidak tepat sasaran. Beliau mencontohkan bahwa program sekolah SMK yang sampai gencar diiklankan, itu tidak perlu ada, sebenarnya sudah termasuk WAJAR 9 TH, kalau memang ingin menghasilkan produk sumber daya manusia yang siap pakai, mending perusahaan menggunakan anak-anak lulusan Diploma 1 Th – 3 Th, yang langsung spesifik belajar di satu bidang khusus, sedangkan SMK, dalam jangka waktu 3 th mengajarkan ilmu bidang khusus tapi dicampur kegiatan-kegiatan belajar ilmu yang tidak spesifik dan tidak mendukung. Belum lagi program SBI dan RSBI, di gelontor dana habis-habisan, siswanya dibiayai dan difasilitasi Negara, padahal yang sekolah disitu bukan dari kalangan orang miskin, tapi kalangan orang tua yang berada, mampu dan kaya, yang bisa membayari sekolah anaknya. Malah digratiskan. Mereka pintar karena memang gizi vitamin dan lingkungan rumah tangganya serba berkecukupan, dibandingkan sekolah islam, menerima siswa yang miskin atau dhuafa dengan syarat lagi, harus PINTAR!. Sindir Muhadjir, mana ada orang miskin yang pintar??!. Orang miskin ya, gak pintar. Terima aja apa adanya jangan ada syarat macam-macam. Pemerintah diingatkan untuk bantu mereka itu. Ditambahkan lagi, belum lagi program profesi guru yang dibentuk pemerintah, memberi tambahan insentive bagi para guru yang sering mengikuti seminar dan pelatihan, dan mengumpulkan seabrek sertifikat atau ijazah seminar dll. Pak rektor menyindir lagi, masa’, guru profesional hanya dilihat dari tumpukan ijazah atau portofolio yang dimilikinya, bukan dari tahapan-tahapan tes lebih signifikan.
Forum debat panggung pun bergulir antara Rektor dan Direktur PSLB, yang notabene mewakili pemerintah, dia melontarkan dengan gurauan bahwa tidak semua anak miskin tidak pintar, ada yang pintar. Kata beliau. Seperti yang di film Laskar Pelangi, bagaimana si Lintang anak orang miskin memiliki otak encer. dia sering makan kepala ikan, sebab bapaknya seorang nelayan, karena belum ada aja penelitian yang mengatakan makan kepala ikan otak jadi pintar. Pak Rektor menimpali langsung, hanya 1 : 1000 ada anak seperti Lintang yang makan kepala ikan, katanya. Seluruh hadirin ger-geran melihat keynote speaker yang saling adu argumen.

Acara berakhir untuk brake istirahat, sholat dan makan, seluruh peserta keluar ruangan dan dibagikan kepada mereka nasi kotak untuk makan siang serta menerima VCD data materi seminar untuk hari ini. Dan tak lama setelah makan siang dan sholat kami segera kembali keruangan untuk mengikuti acara sesi I dan II langsung dengan 4 narasumber sekaligus, diantaranya adalah Dr. Budianto, selaku dosen psikologi UMM, menyampaikan tema Optimalisasi penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di Indonesia dan Drs. Achmadi, M.Ed. dari (Dinas Pendidikan Pemprov Jatim) membahas Peran Pemerintah Daerah dalam Peningkatan Mutu Pendidikan Inklus di Jawa Timur. Yang ketiga Dr. Arif Budi Wurianto (Dosen UMM) menyampaikan dasar-dasar pedagogik dalam penyelenggaraan pendidikan khusus. Dan yang terakhir M. Salis Yuniardi, S.Psi. selaku Direktu ACENAS PK/PLK UMM) membahas peran assesment dalam penyelenggaraan pendidikan khusus.

Secara singkat narasumber I, Dr. Budianto mengatakan bahwa dengan menyandang sekolah Inklusi, bukan berarti terus citra sekolah semakin turun, malah menjadi naik, bagi mereka yang paham dan mengerti hal ini, memang dalam tanya jawab secara riil ada SMK Muhammadiyah Tamanan yang menerima siswa tuna netra, para guru bingung mengajarnya, sekolah tidak siap dengan sarana dan prasarananya, dituntut oleh komite orang tua untuk mengeluarkan anak tersebut. Beliaupun menambahkan bahwa sekolah-sekolah umum jangan sampai melabeli anak-anak dengan sebutan yang tidak layak, seperti anak bodoh, nakal, idiot, hiperaktif, autis, dll, tanpa melakukan pemetaan potensi dan kompetensi siswa atau tes secara klinis. Maka peran assesment center penting disini. Tidak hanya kayaknya, kelihatannya, berupa dugaan-dugaan semata. Bisa gawat tuh!.
Sedangkan narasumber II, Drs. Achmadi menjelaskan lewat slide proyektor jenis-jenis sekolah yang dibantu oleh Pemprov dengan syarat-syarat proposal sesuai yang dibutuhkan. Dan jika mengajukan dana, dimohon untuk kulo nuwun diduluh di tingkat kecamatan, dan daerah baru ke Dinas Provinsi. Diberitahukan Dinas Pemprov Jatim ada di Jl. Genteng kali 33. dan syarat penting dalam pengajuan adalah kesadaran sekolah untuk, menentukan skala prioritasnya dulu, baru dukungan data akurat, dilanjutkan perencanaan yang matang dan terkontrol serta dukungan anggaran yang berkelanjutan, tak lupa kebijakan yang tepat, konsisten, berkomitmen dan tanggung jawab.
Dan narasumber III, Dr. Arif mengingatkan semua pengajar harus paham Human touch pada anak-anak Inklusi, harus mendarah daging dengan perilaku yang Care, Share, Dear dan Aware. Sehingga anak merasa nyaman dan aman atau safety, security,.stability dan fredom from fear. Beliau juga menggambarkan banyaknya anak-anak khusus diantaranya anak-anak yang kehilangan kehangatan orang tua, kekurangan gizi makanan dan minuman, need special equipment, tidak butuh tongkat dan kursi roda dan anak-anak yang tidak dapat bersekolah. Dan masih banyak lagi.
Narasumber terakhir, M. Salis Cuma mengajarkan dan memahamkan audiensi tentang harus sabarnya membimbing anak khusus, beliau banyak menggunakan permainan dilayar yang harus dijawab oleh peserta. Dan mengingatkan lagi jangan sampai kita salah tafsir pada anak tentang gangguan-gangguannya tanpa adanya assessment dulu dengan benar.

Acara berakhir pukul 17.00 WIB, para peserta membubarkan diri untuk mengambil Certifikat/Ijazah Seminar. Ust. Huda dan Ust. Achung berpisah pulang kembali ke rumah masing-masing, tiba dirumah sekitar pukul 17.35 WIB. (@)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar